:::----Assalaamu'alaikum----::::Selamat Datang Di Ki Ageng Ganjur:::---- Musik Religi Akulturatif Ki Ageng Ganjur: " HIJRAH DALAM PERSPEKTIF MANAJEMEN STRATEGI “ " HIJRAH DALAM PERSPEKTIF MANAJEMEN STRATEGI “ | Musik Religi Akulturatif Ki Ageng Ganjur

Friday, December 9, 2011

" HIJRAH DALAM PERSPEKTIF MANAJEMEN STRATEGI “


         Peringatan Tahun Baru Islam yang jatuh setiap tanggal 1 Muharram, tidak bisa dilepaskan dari akar sejarahnya yaitu peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad Saw. dari Mekkah ke Madinah. Dalam sejarah Islam disebutkan bahwa hijrah Nabi tersebut antara lain karena kuat dan beratnya tekanan yang dilakukan kaum kafir Quraisy terhadap Nabi Muhammad Saw., dalam upaya menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk kota Mekkah.
        Kaum kafir Quraisy beranggapan bahwa kehadiran Muhamaad dengan ajaran Islam yang dibawanya merupakan ancaman atas kedudukan dan status sosial mereka sebagai suku yang disegani dan berkuasa di kawasan Mekkah ketika itu. Ancaman tersebut tidak hanya karena perbedaan keyakinan atau kepercayaan, tetapi lebih dari itu karena ajaran yang dibawa Muhammad tersebut juga mengajarkan tentang persamaan hak hidup dan hak sosial ekonomi yang sama kepada seluruh lapisan masyarakat, yang berarti akan merongrong kekuasaan sosial politik dan ekonomi kaum Quraisy yang telah sekian lama menguasai kota Mekkah dan sekitarnya. Oleh karena itu, mereka dengan sekuat tenaga berupaya menghalangi Muhammad menyebarluaskan ajaran Islam tersebut, bahkan sampai berniat untuk membunuh Muhammad sebelum melaksanakan niatnya untuk hijrah ke Madinah.
       Masih dalam suasana pergantian tahun baru Hijriyah yang jatuh pada tanggal 27 Nopember 2011 yang lalu, penulis berusaha menggali kembali peristiwa bersejarah tersebut, terutama dalam sudut pandang manajemen strategi (strategic management), karena dalam pandangan penulis, hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. sekitar 14 abad yang lalu, tidak hanya memiliki kandungan nilai keagamaan yang kemudian melahirkan prototype masyarakat –negara—Islam di Madinah, tetapi juga memberi bukti bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah seorang leader yang berwawasan jauh ke depan dan mampu memahami situasi dan kondisi yang ada di sekitarnya serta berhasil menerapkan prinsip-prinsip dasar manajemen strategi yang efektif dalam upaya menyebarkan dan menegakkan ajaran Islam.
         Dalam kajian ekonomi, manajemen strategi pada dasarnya adalah upaya untuk memahami empat komponen pokok yaitu visi dan misi organisasi/perusahaan, manajemen, lingkungan bisnis dan strategi bersaing agar sebuah perusahaan atau lembaga bisnis mampu bertahan hidup dan tetap eksis di tengah persaingan yang semakin ketat (Porter, 1980). Visi dan misi menjadi payung bagi manajemen untuk menerapkan kebijakan dan strategi bersaing dengan para kompetitor dengan dilandasi pemahaman terhadap lingkungan bisnis, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Pemahaman terhadap lingkungan bisnis inilah antara lain yang dimaksud Michael Porter sebagai Five Competitive Forces (Porter, 1980).
      Dengan dasar inilah maka memahami makna hijrah dari sudut pandang manajemen strategi yang dimaksudkan disini adalah upaya reaktualisasi makna hijrah dan berbagai peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudahnya dengan berupaya menghubungkannya dengan visi dan misi, manajemen dan strategi Nabi Muhammad Saw., dalam menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam dengan memperhatikan situasi dan kondisi lingkungan di sekitar kota Mekkah ketika itu.
       Sejak diangkat dan ditetapkan sebagai Rasul Allah dengan pemberian wahyu di Goa Hira, maka visi dan misi Nabi Muhammad Saw., adalah untuk menyampaikan dan menyebarkan ajaran Islam tersebut kepada seluruh umat manusia. Oleh karena itu, meskipun mendapat hambatan yang sangat berat, beliau tidak pernah berhenti berupaya menyebarkan ajaran Islam. Bahkan salah satu strateginya demi tetap menjalankan visi dan misi kenabian untuk menyebarkan ajaran Islam itu, beliau harus rela hijrah meninggalkan tanah leluhurnya di kota Mekkah menuju kota Yatsrib (Madinah) yang dianggap lebih menjanjikan bagi perkembangan Islam di masa yang akan datang.
        Nabi menganggap bahwa tekanan kaum kafir Quraisy sudah melampaui batas dan jika terus dipaksakan untuk berdakwah di Mekkah akan menimbulkan kesengsaraan yang lebih parah lagi bagi umat Islam ketika itu. Bahkan kaum Quraisy telah melakukan ‘pemboikotan’  dengan melarang berhubungan, melakukan perkawinan maupun jual beli terhadap Bani Hasyim dan Bani Muththalib yang dianggap membela dan melindungi Muhammad. Akibat pemboikotan tersebut, terpaksa Nabi Muhammad Saw. dan pengikutnya menyingkir ke luar kota Mekkah dan terkucil dari komunitas kota Mekkah.
       Kondisi internal seperti ini masih diperparah dengan meninggalnya dua orang tokoh, yaitu Abu Thaalib, paman beliau dan Siti Khadijah, istri beliau, yang meninggal pada tahun 10 kenabian. Padahal kedua orang inilah yang berperan besar dalam perjuangan Nabi selama ini untuk menyebarkan Islam di Mekkah.
      Sementara kondisi eksternal yang terjadi di kota Yatsrib (Madinah) cukup memberikan harapan setelah masuk Islamnya beberapa orang dari suku Khazraj yang kemudian melahirkan Bai’at Aqabah Pertama yang berisi pengakuan keislaman dan Bai’at Aqabah Kedua yang merupakan ikrar atau sumpah untuk pembelaan terhadap perjuangan Nabi dalam menegakkan Islam.
       Dengan pemahaman dan pertimbangan kondisi internal dan eksternal seperti inilah maka tidak ada jalan lain bagi Nabi Muhammad Saw., selain hijrah bersama para pengikutnya demi strategi untuk tetap berpegang teguh pada visi dan misi menyebarkan dan menegakkan Islam. Karena jika tidak mengambil keputusan untuk hijrah, bukan mustahil kaum muslimin, bahkan termasuk Nabi Muhammad Saw., sendiri akan semakin terjepit bahkan bisa dibunuh oleh kaum kafir Quraisy.
       Keputusan Nabi untuk hijrah tersebut telah membuka cakrawala baru dalam penyebaran dan pengembangan Islam karena seakan menemui lahan yang tepat di kota Madinah. Apalagi jika mengingat bahwa kota Madinah atau Yatsrib adalah kota transit terpenting dalam jalur lalu lintas perdagangan antara kota Mekkah ke Syiria. Dengan strategi menguasai kota Madinah, berarti Nabi bisa memutus jalur perdagangan kaum kafir Quraisy di Mekkah dengan Syiria.
       Sejak saat itulah Nabi Muhammad Saw., berusaha membentuk masyarakat Islam di Madinah dengan mempersatukan persaudaraan antara kaum Muhajirin, orang-orang yang ikut berhijrah dari Mekkah ke Madinah, dengan kaum Anshar, penduduk muslim kota Madinah yang menyambut saudaranya yang ikut berhijrah. Nabi juga membangun masjid sebagai pusat kegiatan untuk penggalian ilmu pengetahuan, siasat ekonomi, sosial serta dasar-dasar Daulah Islamiyah yang akan diterapkan dalam kehidupan masyarakat Madinah.
         Strategi lain yang dikembangkan Nabi Muhammad Saw., dalam upaya membangun kota Madinah adalah melakukan perjanjian kerjasama maupun perjanjian damai dengan kaum Yahudi yang juga mendiami sebagian kota Madinah. Mereka tetap mendapat perlindungan, selama mereka tetap taat dan berpegang teguh pada perjanjian yang disepakati bersama. Dalam hal ini, Nabi berarti telah melaksanakan strategi aliansi, baik untuk memperkuat posisi internal maupun sebagai langkah preventif untuk menghadapi ancaman dari kaum kafir Quraisy Mekkah.
       Dengan strategi yang dilandasi pemahaman terhadap visi dan misi Islam, serta memperhitungkan secara seksama kekuatan internal dan eksternal serta melakukan berbagai aliansi strategis untuk memperkuat posisi Madinah sebagai pusat Islam yang direncanakan secara bertahap, setapak demi setapak, maka beberapa tahun kemudian –tepatnya 10 Ramadan 8 H—Nabi Muhammad Saw., dan umat Islam dapat menduduki kota Mekkah secara damai tanpa harus melalui pertumpahan darah atau yang dikenal dengan peristiwa Fathul Mekkah.