Peringatan Tahun Baru Islam yang jatuh setiap tanggal 1 Muharram, tidak
bisa dilepaskan dari akar sejarahnya yaitu peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad
Saw. dari Mekkah ke Madinah. Dalam sejarah Islam disebutkan bahwa hijrah Nabi
tersebut antara lain karena kuat dan beratnya tekanan yang dilakukan kaum kafir
Quraisy terhadap Nabi Muhammad Saw., dalam upaya menyampaikan ajaran Islam
kepada penduduk kota Mekkah.
Kaum
kafir Quraisy beranggapan bahwa kehadiran Muhamaad dengan ajaran Islam yang
dibawanya merupakan ancaman atas kedudukan dan status sosial mereka sebagai
suku yang disegani dan berkuasa di kawasan Mekkah ketika itu. Ancaman tersebut
tidak hanya karena perbedaan keyakinan atau kepercayaan, tetapi lebih dari itu
karena ajaran yang dibawa Muhammad tersebut juga mengajarkan tentang persamaan
hak hidup dan hak sosial ekonomi yang sama kepada seluruh lapisan masyarakat,
yang berarti akan merongrong kekuasaan sosial politik dan ekonomi kaum Quraisy
yang telah sekian lama menguasai kota Mekkah dan sekitarnya. Oleh karena itu,
mereka dengan sekuat tenaga berupaya menghalangi Muhammad menyebarluaskan
ajaran Islam tersebut, bahkan sampai berniat untuk membunuh Muhammad sebelum
melaksanakan niatnya untuk hijrah ke Madinah.
Masih
dalam suasana pergantian tahun baru Hijriyah yang jatuh pada tanggal 27
Nopember 2011 yang lalu, penulis berusaha menggali kembali peristiwa bersejarah
tersebut, terutama dalam sudut pandang manajemen strategi (strategic management), karena dalam pandangan penulis, hijrah yang
dilakukan Nabi Muhammad Saw. sekitar 14 abad yang lalu, tidak hanya memiliki
kandungan nilai keagamaan yang kemudian melahirkan prototype masyarakat –negara—Islam di Madinah, tetapi juga memberi
bukti bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah seorang leader yang berwawasan jauh ke depan dan mampu memahami situasi dan
kondisi yang ada di sekitarnya serta berhasil menerapkan prinsip-prinsip dasar
manajemen strategi yang efektif dalam upaya menyebarkan dan menegakkan ajaran
Islam.
Dalam
kajian ekonomi, manajemen strategi pada dasarnya adalah upaya untuk memahami
empat komponen pokok yaitu visi dan misi
organisasi/perusahaan, manajemen,
lingkungan bisnis dan strategi
bersaing agar sebuah perusahaan atau lembaga bisnis mampu bertahan hidup
dan tetap eksis di tengah persaingan yang semakin ketat (Porter, 1980). Visi
dan misi menjadi payung bagi manajemen untuk menerapkan kebijakan dan strategi
bersaing dengan para kompetitor dengan dilandasi pemahaman terhadap lingkungan
bisnis, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Pemahaman terhadap
lingkungan bisnis inilah antara lain yang dimaksud Michael Porter sebagai Five Competitive Forces (Porter, 1980).
Dengan
dasar inilah maka memahami makna hijrah dari sudut pandang manajemen strategi
yang dimaksudkan disini adalah upaya reaktualisasi makna hijrah dan berbagai
peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudahnya dengan berupaya menghubungkannya
dengan visi dan misi, manajemen dan strategi Nabi Muhammad Saw., dalam
menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam dengan memperhatikan situasi dan
kondisi lingkungan di sekitar kota Mekkah ketika itu.
Sejak
diangkat dan ditetapkan sebagai Rasul Allah dengan pemberian wahyu di Goa Hira,
maka visi dan misi Nabi Muhammad Saw., adalah untuk menyampaikan dan
menyebarkan ajaran Islam tersebut kepada seluruh umat manusia. Oleh karena itu,
meskipun mendapat hambatan yang sangat berat, beliau tidak pernah berhenti
berupaya menyebarkan ajaran Islam. Bahkan salah satu strateginya demi tetap
menjalankan visi dan misi kenabian untuk menyebarkan ajaran Islam itu, beliau
harus rela hijrah meninggalkan tanah leluhurnya di kota Mekkah menuju kota
Yatsrib (Madinah) yang dianggap lebih menjanjikan bagi perkembangan Islam di
masa yang akan datang.
Nabi
menganggap bahwa tekanan kaum kafir Quraisy sudah melampaui batas dan jika
terus dipaksakan untuk berdakwah di Mekkah akan menimbulkan kesengsaraan yang
lebih parah lagi bagi umat Islam ketika itu. Bahkan kaum Quraisy telah melakukan
‘pemboikotan’ dengan melarang berhubungan, melakukan
perkawinan maupun jual beli terhadap Bani
Hasyim dan Bani Muththalib yang
dianggap membela dan melindungi Muhammad. Akibat pemboikotan tersebut, terpaksa
Nabi Muhammad Saw. dan pengikutnya menyingkir ke luar kota Mekkah dan terkucil
dari komunitas kota Mekkah.
Kondisi
internal seperti ini masih diperparah dengan meninggalnya dua orang tokoh,
yaitu Abu Thaalib, paman beliau dan Siti Khadijah, istri beliau, yang meninggal
pada tahun 10 kenabian. Padahal kedua orang inilah yang berperan besar dalam
perjuangan Nabi selama ini untuk menyebarkan Islam di Mekkah.
Sementara
kondisi eksternal yang terjadi di kota Yatsrib (Madinah) cukup memberikan
harapan setelah masuk Islamnya beberapa orang dari suku Khazraj yang kemudian
melahirkan Bai’at Aqabah Pertama yang berisi pengakuan keislaman dan Bai’at
Aqabah Kedua yang merupakan ikrar atau sumpah untuk pembelaan terhadap
perjuangan Nabi dalam menegakkan Islam.
Dengan
pemahaman dan pertimbangan kondisi internal dan eksternal seperti inilah maka
tidak ada jalan lain bagi Nabi Muhammad Saw., selain hijrah bersama para
pengikutnya demi strategi untuk tetap berpegang teguh pada visi dan misi
menyebarkan dan menegakkan Islam. Karena jika tidak mengambil keputusan untuk
hijrah, bukan mustahil kaum muslimin, bahkan termasuk Nabi Muhammad Saw.,
sendiri akan semakin terjepit bahkan bisa dibunuh oleh kaum kafir Quraisy.
Keputusan
Nabi untuk hijrah tersebut telah membuka cakrawala baru dalam penyebaran dan
pengembangan Islam karena seakan menemui lahan yang tepat di kota Madinah.
Apalagi jika mengingat bahwa kota Madinah atau Yatsrib adalah kota transit
terpenting dalam jalur lalu lintas perdagangan antara kota Mekkah ke Syiria.
Dengan strategi menguasai kota Madinah, berarti Nabi bisa memutus jalur
perdagangan kaum kafir Quraisy di Mekkah dengan Syiria.
Sejak
saat itulah Nabi Muhammad Saw., berusaha membentuk masyarakat Islam di Madinah
dengan mempersatukan persaudaraan antara kaum Muhajirin, orang-orang yang ikut berhijrah dari Mekkah ke Madinah,
dengan kaum Anshar, penduduk muslim
kota Madinah yang menyambut saudaranya yang ikut berhijrah. Nabi juga membangun
masjid sebagai pusat kegiatan untuk penggalian ilmu pengetahuan, siasat
ekonomi, sosial serta dasar-dasar Daulah
Islamiyah yang akan diterapkan dalam kehidupan masyarakat Madinah.
Strategi lain yang dikembangkan Nabi Muhammad Saw., dalam upaya
membangun kota Madinah adalah melakukan perjanjian kerjasama maupun perjanjian
damai dengan kaum Yahudi yang juga mendiami sebagian kota Madinah. Mereka tetap
mendapat perlindungan, selama mereka tetap taat dan berpegang teguh pada
perjanjian yang disepakati bersama. Dalam hal ini, Nabi berarti telah
melaksanakan strategi aliansi, baik untuk memperkuat posisi internal maupun
sebagai langkah preventif untuk menghadapi ancaman dari kaum kafir Quraisy
Mekkah.
Dengan
strategi yang dilandasi pemahaman terhadap visi dan misi Islam, serta
memperhitungkan secara seksama kekuatan internal dan eksternal serta melakukan
berbagai aliansi strategis untuk memperkuat posisi Madinah sebagai pusat Islam
yang direncanakan secara bertahap, setapak demi setapak, maka beberapa tahun
kemudian –tepatnya 10 Ramadan 8 H—Nabi Muhammad Saw., dan umat Islam dapat menduduki
kota Mekkah secara damai tanpa harus melalui pertumpahan darah atau yang
dikenal dengan peristiwa Fathul Mekkah.