Prolog
Dalam sebuah diskusi
dengn topik “Prospek Kesenian Islam
Indonesia”, sastrawan-sejarawan Dr. Kuntowijoyo pernah menyampaikan bahwa
masalah di dunia seni budaya Islam di Indonesia antara lain adalah
tersubordinasinya kesenian kepada agama. Kondisi ini berdampak negatif, yaitu
terikatnya bentuk dan isi kesenian kepada agama yang berpretensi abadi. Juga
menimbulkan ketegangan antara nilai-nilai agama termasuk hukum-hukumnya yang
keras dan tegas dengan nilai-nilai kesenian yang longgar. Selain itu,
penggunaan kesenian untuk tujuan praktek agama akan membatasi ruang gerak
kesenian dan kebebasan mencipta ‘terganggu’
oleh ingatan tentang norma-norma agama. Di samping dampak negatif itu, dampak
positifnya adalah adanya dasar atau landasan yang kuat dan kokoh untuk
mengembangkan kesenian, karena betapapun juga, kesenian harus selalu mengandung
nilai-nilai (Dr. Faisal Ismail, MA : “Paradigma
Kebudayaan Islam”; 1999).
Ungkapan itu bukan
merupakan vonis bahwa seni budaya Islam sulit hidup dan berkembang dalam
masyarakat modern sekarang ini, tetapi merupakan sentilan atau gugahan terhadap
perkembangan seni buadaya Islam yang cenderung ketinggalan kereta –untuk tidak
mengatakan stagnan—di yang di tengah
perkembangan seni budaya lain yang semakin marak.
Realitas seni budaya
Islam senantiasa dihantui ketakutan melakukan inovasi karena kekhawatiran yang
berlebihan dan menyimpang dari doktri agama yang dipegangi. Kesalahan pemahaman
tentang posisi fiqh –yang senyatanya
memang kurang mengakomodir persoalan kesenian—menyebabkan umat Islam selalu
ragu untuk mengembangkan seni budaya yang dimilikinya dan terlalu berpegang
teguh pada tradisi yang sudah ada.
Ketentuan-ketentuan
fiqh tradisional dipegangi seakan sebuah aturan Tuhan yang tidak bisa diubah.
Padahal ketentuan-ketentuan tersebut adalah hasil ijtihad manusia dan sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi
sosial masyarakat yang terjadi ketika itu. Bahkan tidak jarang dalam sejarah
kita temukan bahwa ketentuan hukum yang diberlakukan juga sangat dipengaruhi
oleh kepentingan politik penguasa pada
saat itu.
Sebagai konsekuensi
dari sikap taqlid itu, umat Islam
telah sekian lama berada dalam kejumudan
pemikiran maupun peradaban tanpa karya-karya baru yang inovatif dan mampu
menjawab tantangan zaman, sehingga memunculkan pandangan dan sikap sinis –dari
orang luar—terhadap Islam. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah
kesalahpahaman terhadap ajaran Islam.
Islam dan Kesenian
Konsepsi ajaran Islam
telah tertuang dalam Al-Qur’an sebagai sistem nilai yang mengatur segala aspek
kehidupan manusia, baik hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesamanya maupun
dengan lingkungan sekitarnya. Secara sederhana, ajaran Islam itu dapat
dikelompokkan menjadi aqidah dan syari’ah.
Aqidah sebagai
pokok-pokok ajaran termanifestasikan dalam bentuk ibadah ritual-formal yang
menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan sebagai Sang Khaliq. Sedangkan
syari’ah mengatur tata cara pelaksanaan ibadah ritual-formal tersebut maupun
hubungan antar manusia dengan sesama manusia dan lingkungannya. Pengelompokan
ini bukan pemisahan atau pembagian secara saklek, karena aqidah dan syari’ah
saling berhubungan dan saling mendukung. Karena sesungguhnya ibadah sebagai
wujud pengabdian kepada Tuhan tidak hanya terbatas pada ritual-formal tetapi
juga dapat berupa ibadah sosial. Jika ibadah ritual-formal sudah banyak dikupas
dalam fiqh, maka aplikasi dari ibadah sosial membuka peluang seluas-luasnya
bagi manusia untuk berkarya tentunya dengan pedoman Al-Qur’an sebagai landasan
nilainya.
Dalam kerangka yang lebih luas, Allah Swt.
Telah menciptakan ayat-ayat qauliyah
berupa Al-Qur’an dan ayat-ayat kauniyah
yaitu manusia dan jagad raya secara keseluruhan. Penciptaan ini sebagai bukti
tentang keberadaan-Nya dan kekuasaan-Nya. Manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan, mengenal Tuhannya melalui ayat-ayat qauliyah
dan ayat-ayat kauniyah tersebut.
Manusia sebagai khalifah Tuhan yang dikaruniai
akal mencurahkan priksa, rasa, karsa,
intuisi dan karyanya untuk membaca, mempelajari dan mengolah alam jagad raya
maupun petunjuk dalam Al-Qur’an untuk menghasilkan, menciptakan ilmu
pengetahuan, teknologi maupun seni budaya. Dengan demikian, seni atau kesenian
pada dasarnya adalah manifestasi dari budaya priksa, rasa, karsa, intuisi dan karya (Dr.H.Endang Saifuddin Anshari,
1983).
Proses kreasi manusia (baca: umat Islam) yang
membentuk kebudayaan itu merupakan pembuktian kebenaran konsep atau nilai-nilai
dasar yang terkandung dalam Al-Qur’an di satu sisi, dan pemanfaatan sumber daya
alam dan lingkungan yang dicitakan Allah Swt. untuk diolah manusia dengan
mempergunakan akal pikiran yang dimilikinya di sisi lain. Tujuan ideal dari
proses cipta karya ilmu pengetahuan, teknologi dan seni budaya itu tidak lain
adalah dalam kerangka ibadah kepada Allah Swt.
Dengan pemahaman seperti ini sangatlah tidak
relevan jika umat Islam masih ragu dan takut mengembangkan seni budaya Islam,
karena sebagai seorang muslim yang baik (yang terikat jiwanya kepada Islam)
berkreasi seni pada hakekatnya adalah melaksanakan ibadah dan penunaian fungsi khalifah yang telah diamanatkan Allah
Swt. kepada manusia. Islam sangat mendorong umatnya untuk berkarya, hal ini
dibuktikan antara lain :
- Ajaran Islam menghormati akal dan menempatkannya pada posisi yang terhormat agar manusia mempergunakan akalnya untuk memeriksa dan memikirkan keadaan alam (QS. Ali Imran : 189-190)
- Islam mewajibkan tiap pemeluknya, laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu (QS. Al-Mujadalah : 11).
- Islam melarang orang bertaqlid buta, menerima sesuatu sebelum diperiksa walaupun dari bapa ibu dan nenek moyangnya (QS. Bani Israel :36)
- Islam menyuruh mencari kerelaan Tuhan dan mempergunakan hak-hak atas keduniaan dengan bingkai dan aturan agama (QS. Al-Qasas : 77).
- Islam menyeru pemeluknya untuk “berkelana”, bertukar pikiran, pandangan dan pengetahuan dengan golongan atau bangsa lain (QS. Al-Hajj : 46).
- Islam menyuruh memeriksa kebenaran walaupun datangnya dari kaum yang berlainan bangsa dan kepercayaan (QS. Thaaha : 17-18).
Epilog
Kesenian bagi manusia adalah salah satu
fitrahnya. Kesanggupan berkesenian ini pulalah yang membedakan manusia dengan
makhluk Tuhan lainnya. Namun, kebebasan dalam berkesenianpun bukan kebebasan
tanpa batas karena manusia tidak hidup sendiri, melainkan dalam suatu komunitas
social yang luas, sehingga dalam menghasilkan karya ciptapun harus menghargai
keyakinan, kepercayaan dan karya orang lain, terlebih lagi ketika hidup di
tengah masyarakat yang taraf dan latar belakang kepribadian, adat istiadat,
kebudayaan yang berbeda-beda. Kebebasan bagi seniman adalah kebebasan dalam
arti “teknis-kreatif” penciptaan karya-karyanya.
Untuk menjadi seorang seniman tidak perlu
melepaskan dan mencampakkan agama, karena dalam setiap agama (apalagi Islam)
jelas mengandung nilai-nilai yang berkaitan dengan seni yang berkualitas. Dalam
agama Islam, orang tidak diharamkan mengembangkan seni budaya, hal ini sesuai
dengan pandangan menurut penilaian hukum Islam bahwa kesenian pada dasarnya
adalah mubah, jaiz, boleh. Hal-hal
lain yang diluar seni itulah yang dapat membawa perubahan hukum menjadi wajib, sunnah, makruh atau bahkan haram.
Dengan demikian, pengembangan seni budaya Islam
di Indonesia khususnya, tergantung umat Islam itu sendiri, karena ajaran Islam
telah memberikan arahan yang cukup jelas dan tegas. Jika realitasnya menunjukkan
bahwa seni budaya Islam sekarang tertinggal dan terbelakang, itu tidak lain
adalah karena kesalahan pemahaman terhadap ajaran agama. Ajaran agama yang
bersifat normatif dan dogmatif tidak harus membelenggu kreatifitas umat.
Demikian juga bentuk-bentuk kesenian Islam yang cenderung stagnan, harus bisa
dikreasi ulang atau dikemas ulang dengan tampilan baru yang lebih kreatif dan
inovatif tanpa harus kehilangan nilai-nilai Islaminya. Tanpa upaya kreatifitas
itu, seni budaya Islam akan semakin tertinggal dan ditinggalkan, tergilas oleh
budaya massa yang semakin berkembang seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih.
Kemauan dan kemampuan berkreasi, menawarkan
pembaharuan dalam bentuk –terlebih lagi dalam hal konsep—seni budaya Islam
hanya mungkin jika kita mau dan mampu menggunakan dan memanfaatkan akal pikiran
yang dianugerahkan kepada manusia sebagai khalifah
di muka bumi disertai sikap toleransi dan kesadaran serta kesiapan untuk
berbeda.